Senin, 14 Oktober 2013

tafsir al ahzab:72



Manusia mempunyai sikap seorang khalifah di bumi
Tafsir Al-Ahzab:72 
Kata abaina terambil dari fi’il madhi abaa, yang berarti membangkang, menolak, enggan dan sejenisnya. Dalam konteks ayat ini ditampilkan untuk menggambarkan penolakan atau keengganan yang dilakukan oleh langit, bumi, dan gunung ketika Allah menawari mereka untuk mengemban amanat, yakni tugas-tugas keagamaan. Penolakan ini didasar karena kekhawatiran mereka jika mengkhianatinya. Yang dalam ayat ini dijelaskan dengan kalimat Asyfaqna, secara bahasa berarti khawatir berkhianat.
Langit, bumi, dan gunung menolak amanat itu karena tidak memiliki persiapan untuk memikul beban yang berat. Kemudian amanat untuk melaksanakan tugas-tugas keagamaan dilimpahkan kepada manusia yang kecil dan lemah. Manusia menerimanya dengan konsekuensi barang siapa yang melaksanakan dengan baik akan mendapatkan pahala dan masuk surga, sedangkan manusia yang mengkhianatinya akan mendapatkan siksa yang pedih. Walaupun manusia memiliki bentuk badan yang lebih kecil dibandingkan dengan tiga makhluk yang telah disebutkan (langit, bumi, dan gunung), namun manusia berani memikul amanat itu. Hal ini dikarenakan manusia memiliki potensi yang besar. Di sisi lain, pada diri manusia terdapat ambisi dan syahwat yang sering mengelabui mata dan menutup mata hatinya. Pada akhir ayat Allah SWT menyifati manusia dengan kalimat dhaluuman jahuulan (amat dzalim dan amat bodoh) karena kurang memikirkan akibat-akibat dari penerimaan amanat.[1]
Quraish Shihab dalam kitab Tafsirr Al-Mishbah mengemukakan bahwa amanat yang ditawarkan oleh Allah bukanlah pemaksaan. Tentu saja yang ditawari itu telah dinilai yang menawarkannya memiliki potensi untuk melaksanakannya. Sementara para ulama menambahkan tawaran Allah kepada langit, bumi, dan gunung-gunung itu dan informasi penolakan merupakan pertanda bahwa sebenarnya mereka semua bukanlah makhluk yang dapat memikul amanat tersebut sekalipun bentuknya besar. Di lain sisi, penerimaan manusia terhadap amanat ini membuktkan manusia memiliki potensi dalam memikul amanat dengan baik. Ini karena Allah tidak akan menyerahkan amanat bila Dia mengetahui ketiadaan potensi. Tidak ubahnya seorang ayah yang tidak akan memberikan pisau kepada anak kecilnya.
Tujuan informasi ayat 72 dari surat Al Ahzab ini, menunjukkan begitu besarnya sebuah amanat itu, bukan untu menggambarkan betapa kecil dan remeh makhluk-makhluk Allah tersebut.[2] Ulama berbeda pendapat mengenai makna amanat. Ibn ‘Asyur memahami makna amanah dalam arti hakiki yaitu apa yang diserahkan kepada seseorang untuk dipelihara dan dilaksanakan sebaik mungkin, serta menghindari segala bentuk penyiaannya baik secara sengaja maupun karena alpa dan lupa. Yang sengaja menyia-nyiakannya itulah yang ditunjuk Allah SWT dengan kata dhaluuman, sedangkan yang lupa dengan kata jahuulan.
Imam Thabathaba’I menyatakan bahwa apapun yang dimaksud dengan amanat, pada hakikatnya ialah sesuatu yang dititipkan kepada orang lain untuk dipelihara oleh yang dititipi dan yag kemudian dikembalikan kepada penitipnya.[3] Dalam hal ini adalah manusia dan Allah. Menurut sayyid Quthb, amanat tersebut yaitu kehendak, makrifat yang khusus, dan usaha yang khusus.[4] Dimana manusia memiliki potensi untuk menjadi pemimpin/ khalifah di bumi dengan mengemban amanat besar tersebut.


[1] Al-Qur’an dan Tafsirnya jilid 8, kementerian Agama RI. 2010. Lentera abadi. 49
[2] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah vol 11, Jakarta:Lentera Hati 332-333
[3] Ibid Quraish Shihab, hlm 333
[4] Sayyid Quthb, Tafsir fi zhilalil Qur’an terj, Depok:Gema Insani, hlm295

5 komentar:

  1. Subhanallah penjelasan yang gamblang.. Semoga bermanfaat

    BalasHapus
  2. Gunung benda mati? Amanah gimana?...

    BalasHapus
  3. Siapa itu bilang gunung benda mati? Bayangan saja bisa bertasbih. Bukankah manusia dulunya adlah mani, segumpal darah tidak bisa apa2 dan tidak ada bedanya dgn batu...hahaha

    BalasHapus