PENETAPAN
AWAL RAMADHAN
I. Latar
Belakang
Penentuan
awal Ramadhan merupakan persoalan yang menarik untuk dikaji. Manakala dasar
pijakan hukumnya sama, namun dalam dataran implementasinya sering terjadi
perbedaan. Di samping itu, walaupun penentuan awal ramadhan, 1 syawal, dan
Dzulhijjah ini merupakan persoalan klasik. Namun, kiranya selalu muncul actual
terutama menjelang awal Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah. Tidak mengherankan
saat menjelang Ramadhan sering terjadi perselisihan dan perbedaan di tengah-tengah
masyarakat.
Kaum
Muslim di seluruh dunia bakal menjalani salah satu rukun Islam yakni berpuasa
di bulan Ramadhan. Namun, penentuan 1 Ramadhan membutuhkan perhitungan matang
dan akurat. Hal itu
disebabkan kalender Islam (Qomariyah) merujuk pada perputaran bulan sedangkan
perhitungan kalender masehi, kalender yang digunakan di Indonesia merujuk pada
perputaran matahari (Syamsiyah). Sebabnya, penentuan 1 Ramadhan harus didahului
dengan memastikan apakah bulan baru telah muncul di ufuk timur atau dalam ajaran
Islam disebut (hilal).
Di
Indonesia, terdapat dua metode yang dipergunakan dalam penetapan awal puasa
ramadhan. Metode pertama dikenal dengan istilah rukyat.
Metode ini menggunakan pandangan mata apakah bulan baru telah muncul saat
maghbrib atau tidak. Metode
kedua dikenal dengan istilah hisab. Metode hisab menentukan 1 Ramadhan dengan
perhitungan matematika astronomi.
Oleh karena itu dalam makalah ini kami akan mencoba
membahas secara global mengenai polemik tersebut.
II. Rumusan
Masalah
1. Apakah
Dasar Penetapan Awal Ramadhan dan 1 Syawal?
2. Bagaimanakah
Metode Penetapan Awal Bulan Ramadhan?
III.
Pembahasan
I.
Dasar Penetapan Awal Ramadhan dan 1
Syawal
Puasa
Ramadhan wajib dilakukan apabila sudah terlihat adanya bulan baru. untuk
kepastiannya, dapat
dilakukan beberapa cara:
a)
Dengan tampaknya bulan di malam tiga
puluh Sya’ban. Hal ini memungkinkan apabila cuaca terang dan tidak terdapat
mendung yang menghalangi penglihatan.
Dalam Hadits, Nabi
SAW bersabda:
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته
"Berpuasalah karena kalian melihat bulan, dan
berbukalah ketika kalian melihat bulan." (HR. Bukhari dan Muslim)
Selain itu, Imam Muslim juga meriwayatkan hadits:
إذا رأيتم
الهلال فصوموا ، وإذا رأيتموه فأفطروا
" Jika kalian melihat hilal (Ramadhan) , maka
berpuasalah, dan jika kalian melihat hilal ( Syawal ), maka
berbukalah." (HR Muslim).
Jika
bulan dapat terlihat maka kita wajib berpuasa esok harinya. Jika bulan tidak
terlihat ketika cuaca yang terang maka kita tidak boleh berpuasa esok harinya,
namun jika bulan tidak terlihat karena udara mendung maka kita harus memulai
puasa esok harinya. Hal ini sesuai dengan madzhab ibn umar berdasarkan hadits
Nabi SAW:
إنّماالشّهرتسع وعشرون فلا تصوموا حتّى تروه ولاتفطروا حتّى
تروه فإن غمّ عليكم فاقدرواله.
“Sesungguhnya
bulan itu 29 hari. Maka janganlah kamu berpuasa sehingga kamu melihat bulan dan
janganlah kamu berbuka, sehingga kamu melihatnya. Tapi jika mendung,
kadarkanlah olehmu untuknya.”
Para
ulama berbeda pendapat dalam mengartikan “maka kadarkanlah untuknya”. Menurut
pendapat ahli bahasa, maknanya: maka takdirkanlah dia. Jumhur ulama dari golongan Hanafiyah,
Malikiyah, dan Syafi’iyah berpendapat bahwa maknanya sempurnakanlah 30 hari.
Segolongan ulama berpendapat maknanya: pandanglah dia, sudah ada di bawah awan.
Segolongan yang lain berpendapat: pergunakanlah hisab. Jumhur ulama mamaknakan “maka
kadarkanlah untuknya” dengan “sempurnakanlah”, mengingat bahwa hadits harus
ditafsirkan dengan hadits. Ungkapan “maka kadarkanlah untuknya” ditafsirkan
oleh perkataan “maka sempurnakanlah 30 hari”.
Dengan mencukupkan bulan
Sya’ban tiga puluh hari, maksudnya bulan tanggal Sya’ban itu dilihat. Tetapi kalau
bulan tanggal satu Sya’ban tidak terlihat, tentu kita tidak dapat menentukan
hitungan, sempurnanya tiga puluh hari.[2]
صوموالرؤيته وافطروالرؤيته فان
غمّ عليكم فاكملوا عدّة شعبان ثلاثين (رواه البخاري)
Artinya : Berpuasalah kamu setelah melihat bulan( di bulan
Ramadhan), dan berbukalah kamu sewaktu melihat bulan (di bulan Syawal). Maka
jika ada yang mengahalangi (mendung) sehingga bulan tidak kelihataan, hendaklah
kamu sempurnakan bulan Sya’ban tiga puluh hari. (HR.Bukhari).
II.
Metode Penetapan Awal Bulan
Ramadhan
Dalam
penentuan awal bulan Rmadhan, 1 Syawal terdapat dua metode yaitu Rukyat dan
Hisab.
1)
Itsbat Rukyah
Artinya menetapkan
bahwa bulan sabit sudah kelihatan. Sebagai konsekuensinya, maka semua wajib
memulai puasa Ramadhan atau berlebaran. Itsbat rukyah itu harus dengan
kesaksian seorang saksi yang adail (jujur dan tidak fasik). Saksi itu boleh
laki-laki atau perempuan. Menurut mahdzab rukyah, rukyah hanya diartikan
sebatas melihat dengan mata kepala (mata telanjang/tanpa alat).
Ru’yah
dari sesorang penduduk suatu negeri mewajibkan puasa bagi semua penduduk
negerinya dan juga bagi negeri-negeri tetangganya. Hal
ni merupaan pendapat dari Al-lais dan sebagian pengikut As-Syafi’i. dalam
masalah ikhtilafu mathla’ ada dua pendapat, yaitu:
a. Pendapat
jumhur ulama’
Jumhur ulama’ berpendapat bahwa
perbedaan mathla’ itu tidak
menjadi perhatian. Apabila suatu negeri telah melihat bulan, maka wajiblah
puasa atas semua negeri. Hal ini didasarkan dari hadits nabi:
صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته
"Berpuasalah karena kalian
melihat bulan, dan berbukalah ketika kalian melihat bulan." (HR.
Bukhari dan Muslim)
b. Pendapat sebagian kecil ulama’
Mereka berpegah teguh
pada hadits yang diriwayatkan oleh Ahmad, Muslim dan At-Turmudzi dari Kuraib
“saya
datang ke Syam dan masuklah bulan Ramadhan, ketika saya berada disana maka saya
melihat hilal pada malam jum’at. Diakhir bulan saya kembali ke Madinah. Maka
ibnu Abbas bertanya kepada saya “kapan kamu melihat hilal?” Aku berkata: “kami
melihatnya pada malam jum’at.”Ibnu Abbas berkata : “apakah kamu sendri ang
melihatnya?”aku menjwab:”benar dan orang lain melihatnya, karenanya Muawiyah
dan orang disana berpuasa” kata Ibnu
Abbas: “akan tetapi kami melihatnya malam sabtu, karenanya kami akan terus
berpuasa hingga cukup 30 atau kami melihat bulan sendiri.” Aku berkata
“tidaklah anda mencukupi dengan ru’yah muawyah dan puasanya?” ibnu Abbas
menjawab: ”tidak,” demikianlah kami diperintahkan Rosullullah SAW ”.
Hadits ini menetapkan,
bahwa apabila telah pasti ru’yatul hilal disuatu Negara, wajiblah puasa
dinegara itu dan Negara yang dekat dengannya yang segaris lurus tidak
Negara-negara yang lain.[3]
Ru’yah
umumnya dilkukan di tepi pantai atau di atas dataran tinggi (seperti gunung
atau bukit), karena kedua tempat tersebut merupakan lokasi bebas halangan untuk
melihat hilal di ufuk bagian barat.
2) Hisab
Mahdzab hisab,
penentuan awal dan akhir bulan Qomariyah didasarkan perhitungan falak.
Menurutnya, istilah rukyah yang terdapat dalam hadits-hadits hisab rukyah
dinilai bersifat ta’aqquli-ma’qul al ma’na, dapat dirasionalkan, diperluas dan
dikembangkan. Sehingga dapat diartikan mengetahui sekalipun bersifat
dzanni(dugaan kuat) tentang adanya hilal.
Dalam Khazanah ilmu
hisab dikenal beberapa metode untuk menentukan ijtima’ (konjungsi) dan posisi
hilal dan awal Ramadhan. Beberapa metode tersebut yakni:
·
Metode hisab haqiqi taqribi: Kelompok
ini mempergunakan data bulan dan matahari berdasarkan data dan table ulugh bek
dengan proses perhitungan yang sederhana. Hisab ini dilakukan hanya dengan cara
penambahan, pengurangan, perkalian, pembagian, tanpa mempergunakan ilmu ukur
segitiga bola (spherical trigonometri)
·
Metode hisab haqiqi tahqiqi. Metode ini
diambil dari kitab almathla’ al-Said Rushd al-Jadid yang berakar dari system
astronomi serta matematika modern yang asal muasalnya dari system hisab
astronom muslim. System ini mempergunakan table-tabel yang sudah dikoreksi dan
perhitungan yang relative lebih rumit daripada kelompok hisab haqiqi taqribi
serta memakai ilmu ukur segitiga bola.
·
Metode hisab haqiqi kontemporer. Metode
ini menggunakan hasil penelitian terakhir dan menggunakan metematika yang telah
dikembangkan. Metodenya sama dengan metode hisab haqiqi tahqiqi hanya saja
system koreksinya lebih teliti dan kompleks sesuai dengan kemajuan sains dan
teknologi.
III.
ANALISIS MASALAH
Dalam
masalah mengenai penetapan awal bulan ramadhan dan satu syawal yang dikiblatkan
pada hadist nabi صوموا لرؤيته وأفطروا لرؤيته
, dari kata rukyat itu terdapat dua pengertian dari
Ru’yah yaitu ru’yah bi al-‘ain (melihat dengan mata) dan ada juga yang
mengartikan ru’yah bi al ‘ilm (melihat dengan ilmu atau rasio) melalui
penghitungan ilmu hisab.
Selain
itu jika dilihat dari aspek sosio historis dan asbabul wurudl hadits
diatas ditujukan oleh nabi pada penduduk Madinah yang mempunyai posisi
geografis yang berbeda dengan Makkah. Berdasarkan data-data historis, Makkah
merupakan kota yang bertaraf internasional dan sentral peradaban Arab.
Sedangkan Madinah merupakan daerah agraris yang subur.
Akibat
letak geografis yang berbeda antara Makkah dan Madinah menghasilkan tradisi dan
peradaban yang berbeda. Masyarakat Makkah lebih terbuka dan telah mengenal
tradisi menghitung akibat kontak perdagangan dengan Parsi, sehingga Ru’yah
disini dilakukan dengan metode hisab. Sementara masyarakat Madinah cenderung
pasif dan statis serta tidak terbiasa dengan proses penghitungan yang rumit,
sehingga ru’yah disini dilakukan dengan melihat bulan dengan mata.[4]
Untuk
mengurangi perpecahan yang terjadi di kalangan umat Islam dalam menyikapi
perbedaan cara menentukan awal bulan tersebut, para ulama menfatwakan bahwa
sebaiknya umat Islam mengikuti awal bulan Ramadhan dan Syawal yang telah
ditentukan oleh pemerintah dalam negara masing-masing. Untuk negara
Indonesia umpamanya, hendaknya seluruh rakyat mengikuti apa yang telah
diputuskan pemerintah dalam hal ini Departemen Agama. Itu semua demi maslahat
persatuan.
IV.
KESIMPULAN
Puasa Ramadhan wajib
dilakukan apabila sudah terlihat adanya bulan baru. untuk kepastiannya, yaitu dengan menggunakan dasar yang telah ditetapkan
nabi dan juga para ulama’ baik ulama’ pada zaman dahulu maupun ulama’ sekarang
yang juga harus disepakati dengan ketetapan dari pemerintah. Adapun dasar yang
dijadikan pedoman untuk menentukan awal ramadhan yaitu berdasarkan hadits nabi
yang artinya " Jangan kalian berpuasa sampai kalian melihat
hilal, dan jangan berbuka sampai melihatnya lagi, jika bulan tersebut tertutup
awan, maka sempurnakan bulan tersebut sampai tiga-puluh." (HR Muslim).
Dari hadits
tersebut diperoleh dua metode dalam penetapan awal ramadhan dan satu syawal
yaitu dengan itsbat rukyah dan itsbat hisab. Itsbat rukyat Artinya
menetapkan bahwa bulan sabit sudah kelihatan. Sedangkan itsbat hisab artinya menentukan awal ramadhan
dengan cara menghitung menggunakan ilmu falak.
V.
PENUTUP
Demikian makalah ini
kami buat, kami sadar bahwa dalam
pembuatan makalah ini pasti masih ada banyak kekurangan. Oleh karenanya untuk
kesempurnaan makalah ini, kami selaku pemakalah mengharap kritik dan saran yang
membangun dari pembaca. Akhirnya semoga bermanfaat bagi kita semua. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Ash-Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. Pedoman Puasa. Semarang: PT. Pustaka Rizqi Putra. 2000
Azhari, Susiknan. HISAB & RUKYAT. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. 2007
Rasjid,
Sulaiman. Fiqh Islam Cetakan ke 50. Bandung : Sinar Baru Algensindo.
2011
Syihab. Zainal Abidin. Tuntunan Puasa Praktis.
Jakarta : Bumi Aksara. 1995
http://www.ppnuruliman.com/artikel/fikih-ramadhan/233-penentuan-awal-ramadhan-secara-syari.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar