Harapanku, Menjadi Good Teacher
Menjadi
guru sama dengan menjadi ibu. Pandai menginspirasi dan memotivasi. Jika surga
di bawah telapak kaki ibu, ilmu bersama jari-jari seorang ibu.
Ungkapan tersebut patut disandarkan pada seorang guru. Dimana seorang
guru sama spesialnya dengan seorang ibu. Perjuangan tidak mudah sebagai seorang
guru dan ibu untuk menjadikan anak (didik) nya orang yang berguna.
Meskipun baru beberapa bulan yang lalu saya menyandang gelar sebagai
guru, banyak cerita unik yang telah diberikan siswa kepada saya. Canda dan tawa
anak-anak yang belum berdosa selalu hadir dalam keseharian, membuat saya
semakin menikmati proses ini. Namun, jangan salah, banyak juga masalah-masalah
yang hadir entah itu dari orang tua/wali murid dan dari siswa itu sendiri. Saya
sebagai seorang pendidik memiliki tanggung jawab penuh terhadap akhlak siswa.
Apalagi saya seorang guru SD kelas rendah (kelas 2), dimana masa-masa itu bukan
capaian akademik yang menjadi prioritas pembelajaran, lebih dari itu kami –para
guru SD- harus membangun pondasi karakter bagi anak didik. Karakter yang kami
harapkan tidak lain karakter positif nan kuat yang akan menggantikan pucuk
pimpinan negeri ini 30 tahun yang akan datang.
Selama kurang lebih 7 jam bersama siswa, saya tak ingin ketinggalan
momen-momen bersama anak didik. Saya ingin mendengarkan semua ceritanya dan
memberikan sedikit pesan/nasihat di sela-sela mereka bercerita. Saya ingin
menjadi seorang guru yang selalu menginspirasi mereka dalam melakukan kebaikan.
Saya ingin kelak dia melihat mereka menjadi orang sukses dibalut dengan akhlak
yang mulia. Hanya itu harapan saya. Semoga Tuhan meridhai.
Pernah suatu kali, ada anak didik pindahan ke kelas yang saya ampu.
Seorang anak perempuan gempal dan selalu mencari perhatian teman-teman dan
gurunya. Tidak ada rasa takut dalam sorot matanya. Ketika pelajaran Baca
Al-Quran (BAQ) –kebetulan sekolah kami menerapkan moving class- pernah
beberapa kali bolos. saya mencarinya ke setiap sudut sekolah dan Alhamdulillah
menjumpainya. Anak itu berada di tangga pojok sekolahan. “nak, apa yang kau
lakukan di sini?” tanyaku. “nongkrong, bu” jawabnya dengan santai. Entah siapa
yang mengajarinya menjawab seperti itu pada gurunya. Saya rasa selama di
sekolah ini diterapkan tata karma dan sopan santun dalam berbicara pada orang
yang lebih tua apalagi kepada gurunya. Lafadz istighfar saya sebut berulang
kali dalam hati, sambil mengajaknya ke kantor guru. Anak ini memang berbeda dan
perlu penanganan yang berbeda pula. Saya ingat betul, selama beberapa hari ini,
setiap kali solat dhuhur berjamaah anak ini selalu mengganggu teman sebelahnya.
Terkadang menyembunyikan kerudung, rukuh siswi lain, bahkan pernah
menyembunyikan lembar jawab siswa lain ketika ulangan. Anak ini benar-benar
butuh didikan yang sangat ekstra.
Setelah saya telisik tentang anak ini, ternyata bapak ibunya seorang
yang super sibuk dengan pekerjaannya. Ibunya seorang dokter kandungan dan
ayahnya seorang dekan di salah satu universitas terkemuka di Semarang. Tidak
salah lagi putri kecil ini kekurangan perhatian dan didikan khususnya dari
lingkungan rumah. Mulai saat itu, saya menambah porsi perhatian dan didikan
kepada anak tersebut. Meskipun sampai tulisan ini saya buat, belum ada kemajuan
signifikan pada dirinya, saya yakin lambat laun akan lebih patuh pada guru dan
peraturan di sekolah.
Lain anak, lain lagi cerita yang terjadi. Dalam beberapa situasi terjadi
pemahaman dan tindakan berbeda yang dilakukan setiap anak. Dalam hal ini, saya
sebagai seorang guru dituntut untuk memahami kenapa anak melakukan hal
tersebut. Dan sebisa mungkin memberikan control pada anak sekaligus perbaikan
jika dirasa perbuatan yang dilakukan anak itu tidak benar. Di sisi lain juga,
seorang guru harus adil bersikap pada semua anak didiknya. Menjadi guru itu
mudah. Namun, menjadi good teacher/ guru yang baik, benar-benar tidak
mudah. Saya merasakannya.
Pembelajaran di kelas, saya berusaha membuat semenarik mungkin. Agar
anak didik mudah menerima materi dan merasa fun. Saya ingin membuat
anak-anak merasa bahagia di kelas. Karena kebahagiaan yang akan memberikan
energy positif yang sangat besar, untuk melakukan semua aktivitas termasuk
pembelajaran. Kebahagiaan hati tidak bias digantikan dengan apapun termasuk
uang dan hadiah. Lalu bagaimana saya bisa membuat anak-anak saya bahagia? Tentu
dengan menjadi guru yang selalu menggembirakan jika dilihat, jika diajak bicara
dan selalu menularkan energi positif. Tidak cemberut, selalu tampil manis
dengan pakaian yang rapi, dan berkata-kata positif dan menarik hati.
Saat ini saya sedang jatuh cinta dengan Hernowo, seorang guru Bahasa dan
Sastra Indonesia di sebuah SMA plus di Bandung sekaligus CEO di Mizan Learning
Center. Semua karyanya saya buru di perpustakaan sekolah. Salah satu hal yang
saya ingat dari beliau tentang ajaran AMBAK yang diambil dari Bobby DePorter
dan Mike Hernacki. AMBAK merupakan akronim dari “Apa Manfaatnya Bagiku?”.
Ajaran yang lain adalah tentang contextual learning dan pembelajaran
dengan gaya bercerita. Dengan metode bercerita, anak-anak saya semakin memperhatikan
dan merasa senang. Setiap kali saya berhenti bercerita, anak-anak meminta lagi
dan lagi. Rasa penasaran mereka semakin tumbuh. Apalagi ketika pelajaran IPA
yang menceritakan tentang hewan dan tumbuhan langka, saya menceritakan tentang
keunikan tumbuhan kantong semar yang memakan serangga, anak-anak seakan tidak
berkedip menatap mulut saya yang sedang bercerita. Nah, pada saat itulah saya
mengajak dan mendorongnya untuk banyak membaca buku. Karena saya tau, ilmu yang
diberikan di sekolah tidak bisa memberikan seluruh ilmu yang ada di dunia ini.
Anak akan berkembang ilmunya dengan mencari sendiri di luar sekolah. Kalau
hanya sekolah yang diandalkan dan tidak mencari ilmu lain di luar kelas, anak
tidak akan berkembang.
Saya ingin membawa cahaya ilmu di kelas yang saya ampu. Tidak hanya ilmu
kosong yang sampai pada anak, namun ilmu yang dipenuhi dengan cahaya. Seperti
kata Nabi SAW, al-ilmu nuurun. Ilmu itu bercahaya. Bagaimana ilmu itu bisa
dikatakan bercahaya? Jika ilmu itu mampu membuat orang yang memilikinya menjadi
lebih baik. Menyadur dari buku Hernowo,
tentang ilmu itu bercahaya, bahwa anak didik akan semakin baik cara
berpikirnya, serta sikapnya. Seperti kata Nabi lagi, al-ilmu bilaa amalin
kasyajari bilaa tsamarin. Ilmu yang tidak diamalkan, seperti halnya pohon yang
tidak berbuah.
Tulisan ini lebih banyak berisi harapan dan keinginan saya menjadi guru
yang baik. Karena saya sadar, saya belum bisa menjadi guru yang baik. Saya
hanya bisa bertukar pikiran dan sharing dengan siapa saja dan melalui media apa
saja. Masih banyak yang harus saya lakukan untuk memperbaiki diri saya menjadi
guru yang baik, guru yang bijak, dan guru yang menginspirasi.