Rabu, 07 Agustus 2013

bukan negeri (pen)dongeng



Resensi
Judul               : Republik #jancukers
Penulis             : Sujiwo Tejo
Tahun Terbit    : November 2012
Tebal halaman : xiv + 400 halaman
Resensator       : Izadatul Hasanah
Bukan Negeri Pen(Dongeng)
Di sebuah negeri dengan nama Republik #Jancukers, semua orang diperlakukan sama. Tidak diperkenankan masyarakatnya berperilaku gengsi, munafik, sopan santun karena pencitraan bahkan korupsi. Justru, masyarakat harus berbuat ngawur, bebas dan merdeka untuk menjaga stabilitas keamanan dan kerukunan bernegara. Kenapa bisa begitu? Pada dasarnya, penulis buku yang dikenal dengan “dalang edan” ini memimpikan sebuah Negeri ideal sebagai antithesis dari keadaan Indonesia sekarang. Dengan judul buku negeri #Jancukers yang berarti negeri bagi para orang jancuk, memiliki dorongan untuk mencairkan kebekuan tata Negara dan menafikan segala niat yang berbau kebusukan dan merugikan orang lain. Negeri ini dibangun dengan ketulusan dan keakraban demi kebaikan bersama.
“Jika dengan jancuk pun tak sanggup aku menjumpaimu
Dengan air mata mana lagi dapat kuketuk pintu hatimu”
Sebaris ungkapan ini diantarkan oleh penulis di halaman awal. Ungkapan tersebut menunjukkan keprihatinan Sujiwo Tejo terhadap kondisi sosial, ekonomi maupun perpolitikan yang sedang melanda Indonesia.. Begitu banyak hal yang diperbincangkan oleh orang ‘nyeleneh’ ini dalam bukunya Repulik Jancukers, di antaranya sikap “kekanak-kanakan” para DPR di senayan, mobil kepresidenan yang selalu didahulukan hingga gaya petenteng pegawai negeri. Dengan bahasanya yang blak-blakan, Sujiwo mengkritik habis-habisan para elite eksekutif, legislative, bahkan para sosialita. Sebuah perenungan terhadap perbedaan gaya hidup antara elite dan fakir.
Negara Indonesia tercinta yang katanya dulu negeri gemah ripah loh jinawe, sekarang memiliki banyak permasalahan mulai pendidikan, kemiskinan, kesejahteraan, hingga moralitas pejabat. Tahun 2012 lalu, negara ini mendapat hadiah sebagai negara yang menuju kepada kegagalan di peringkat ke 63 dari 127 negara. Prestasi yang sangat mengharukan bagi Negara yang pernah mendapat julukan macan asia. Lalu, mengapa hal ini sampai terjadi? Saya mengutip perkataan Adolf Hitler, pemimpin NAZI Jerman, bahwa  tidak ada tentara/ rakyat yang bodoh. Sebuah kegagalan dalam berperang ditentukan oleh strategi dan kegigihan pemimpinnya. Jadi, dalam sebuah pemerintahan besar sangat dibutuhkan kapasitas pemimpin yang besar pula, yaitu pemimpin yang tahan banting dan berani mengambil keputusan dengan segala resikonya. Meskipun pemimpin tidak menjadi satu-satunya faktor penentu kesuksesan, setidaknya faktor pemimpin menjadi pionir dan otak kesuksesan.
Dewasa ini, para pemimpin negeri kita sering menggaungkan rakyatnya untuk taat membayar pajak pada waktunya. Sosialisasi besar-besaran dilakukan lewat berbagai media massa, elektronik dan baliho di jalan raya untuk memuluskan rakyat menjalankan kewajibannya. Sebuah kewajiban membayar upeti bagi pemerintah. Namun, di sisi lain, para pemimpin -katakanlah birokrat- masih sibuk menghitung gaji, tunjangan, fasilitas, dan berbagai hak-hak lainnya. Dalam hal ini, ungkapan dari mantan presiden AS, John F. Kennedy, sudah tidak relevan. “Jangan kau bertanya apa yang dapat Negara berikan kepadamu, tapi tanyakanlah apa yang bisa kau berikan pada negara.” Bagi masyarakat Indonesia dengan segala permasalahan komplek dirasa lebih relevan jika memperjuangkan hak-haknya terlebih dahulu. Penuntutan sebuah kehidupan yang sejahtera, tertib, dan transparan. Menurut sujiwo tejo hal inilah yang akan mengefektifkan kinerja para wakil rakyat dan menteri. Government betul-betul ada kerjaan, bukan penganggur terselubung yang makan gaji buta dari uang rakyat (lihat hal. 276).
Jika dilihat secara sekilas, karya Sujiwo yang satu ini tidak berbeda dengan karya-karyanya sebelumnya. Yaitu sebuah pengkritikan terhadap pemerintahan. Pada bab ke-48 dengan judul ‘kritik’, dia mengakui keberadaannya dengan posisi sebagai kritikus ulung. Dalam hal ini penulis menjelaskan perbedaan antara kritikus dan praktisi ketika seorang kritikus mendapatkan serangan balik. Biasanya orang akan menilai bahwa seorang kritikus hanya pintar membeo untuk suatu permasalahan tanpa memberi solusi yang solutif. Atau bisa jadi seorang kritikus ketika diberi hak untuk memerintah justru tidak sebaik orang yang dikritiknya. Namun, jangan salah, bukan seorang Sujiwo Tejo “dalang edan” jika tidak bisa berkilah. Menurutnya, hal tersebut sudah masalah logika. Dalam kehidupan sudah terbagi dalam bidangnya masing-masing. Ada pelaku, ada pula pengamat/ analis/ kritikus. Belum tentu seorang praktisi/ pelaku mampu mengamati pekerjaannya sendiri maupun pekerjaan orang lain dengan baik, begitu pula seorang kritikus belum tentu mampu melakukan pekerjaan yang dikritiknya dengan lebih bagus. Lebih dari itu, seorang praktisi memang seharusnya mengambil ide-ide dari kritik menjadi solusi sehingga satu sama lain saling mengisi mengerjakan pekerjaannya masing-masing. Meminjam istilah gusdur, seakan sujiwo ingin mengatakan gitu aja kok repot.
Secara garis besar, karya Republik #Jancukers mampu memberikan perenungan bagi kita pada hal-hal kecil yang akan bermuara pada perkara besar.  Dengan banyaknya wacana yang dihadirkan, terasa sekali bahwa buku ini ditulis oleh seseorang yang berpengetahuan dan berwacana luas. Didukung dengan latar belakang pendidikan penulis di dua jurusan di ITB yakni jurusan matematika dan teknik sipil serta keilmuannya dalam pewayangan, sastra dan musik menambah keragaman pembahasan di setiap esai di dalamnya.
Namun, bagi orang yang mengikuti secara intens pemikiran Sujiwo Tejo, buku ini memang belum mampu menggambarkan konsep pemikirannya secara utuh. Hal ini dikarenakan cakupan yang dibahas sangat luas dan tidak terstruktur dengan rapi, ditambah lagi dengan pembahasan yang lebih mengikuti arus zaman. Jadi, bagi seseorang yang tidak mengikuti permasalahan negeri ini ter-update sedikit kesulitan memahami arah pemikiran per-babnya. Bagaimanapun, karya ini sangat enak dibaca dan mudah dicerna bagi kalangan apapun. Tidak hanya seputar kritik pemerintah, lebih dari itu kita akan mendapatkan wacana yang lebih banyak seputar berbagai hal.