Resensi
Judul : Republik #jancukers
Penulis : Sujiwo Tejo
Tahun
Terbit : November 2012
Tebal
halaman : xiv + 400 halaman
Resensator : Izadatul Hasanah
Bukan
Negeri Pen(Dongeng)
Di
sebuah negeri dengan nama Republik #Jancukers, semua orang diperlakukan sama.
Tidak diperkenankan masyarakatnya berperilaku gengsi, munafik, sopan santun
karena pencitraan bahkan korupsi. Justru, masyarakat harus berbuat ngawur,
bebas dan merdeka untuk menjaga stabilitas keamanan dan kerukunan bernegara.
Kenapa bisa begitu? Pada dasarnya, penulis buku yang dikenal dengan “dalang edan”
ini memimpikan sebuah Negeri ideal sebagai antithesis dari keadaan Indonesia
sekarang. Dengan judul buku negeri #Jancukers yang berarti negeri bagi para
orang jancuk, memiliki dorongan untuk mencairkan kebekuan tata Negara dan
menafikan segala niat yang berbau kebusukan dan merugikan orang lain. Negeri
ini dibangun dengan ketulusan dan keakraban demi kebaikan bersama.
“Jika
dengan jancuk pun tak sanggup aku menjumpaimu
Dengan
air mata mana lagi dapat kuketuk pintu hatimu”
Sebaris
ungkapan ini diantarkan oleh penulis di halaman awal. Ungkapan tersebut
menunjukkan keprihatinan Sujiwo Tejo terhadap kondisi sosial, ekonomi maupun
perpolitikan yang sedang melanda Indonesia.. Begitu banyak hal yang diperbincangkan
oleh orang ‘nyeleneh’ ini dalam bukunya Repulik Jancukers, di antaranya sikap “kekanak-kanakan”
para DPR di senayan, mobil kepresidenan yang selalu didahulukan hingga gaya
petenteng pegawai negeri. Dengan bahasanya yang blak-blakan, Sujiwo mengkritik
habis-habisan para elite eksekutif, legislative, bahkan para sosialita. Sebuah
perenungan terhadap perbedaan gaya hidup antara elite dan fakir.
Negara
Indonesia tercinta yang katanya dulu negeri gemah ripah loh jinawe, sekarang
memiliki banyak permasalahan mulai pendidikan, kemiskinan, kesejahteraan,
hingga moralitas pejabat. Tahun 2012 lalu, negara ini mendapat hadiah sebagai negara
yang menuju kepada kegagalan di peringkat ke 63 dari 127 negara. Prestasi yang
sangat mengharukan bagi Negara yang pernah mendapat julukan macan asia. Lalu,
mengapa hal ini sampai terjadi? Saya mengutip perkataan Adolf Hitler, pemimpin
NAZI Jerman, bahwa tidak ada tentara/
rakyat yang bodoh. Sebuah kegagalan dalam berperang ditentukan oleh strategi
dan kegigihan pemimpinnya. Jadi, dalam sebuah pemerintahan besar sangat
dibutuhkan kapasitas pemimpin yang besar pula, yaitu pemimpin yang tahan
banting dan berani mengambil keputusan dengan segala resikonya. Meskipun
pemimpin tidak menjadi satu-satunya faktor penentu kesuksesan, setidaknya faktor
pemimpin menjadi pionir dan otak kesuksesan.
Dewasa
ini, para pemimpin negeri kita sering menggaungkan rakyatnya untuk taat
membayar pajak pada waktunya. Sosialisasi besar-besaran dilakukan lewat
berbagai media massa, elektronik dan baliho di jalan raya untuk memuluskan
rakyat menjalankan kewajibannya. Sebuah kewajiban membayar upeti bagi
pemerintah. Namun, di sisi lain, para pemimpin -katakanlah birokrat- masih
sibuk menghitung gaji, tunjangan, fasilitas, dan berbagai hak-hak lainnya.
Dalam hal ini, ungkapan dari mantan presiden AS, John F. Kennedy, sudah tidak
relevan. “Jangan kau bertanya apa yang dapat Negara berikan kepadamu, tapi
tanyakanlah apa yang bisa kau berikan pada negara.” Bagi masyarakat Indonesia
dengan segala permasalahan komplek dirasa lebih relevan jika memperjuangkan
hak-haknya terlebih dahulu. Penuntutan sebuah kehidupan yang sejahtera, tertib,
dan transparan. Menurut sujiwo tejo hal inilah yang akan mengefektifkan kinerja
para wakil rakyat dan menteri. Government
betul-betul ada kerjaan, bukan penganggur terselubung yang makan gaji buta dari
uang rakyat (lihat hal. 276).
Jika
dilihat secara sekilas, karya Sujiwo yang satu ini tidak berbeda dengan
karya-karyanya sebelumnya. Yaitu sebuah pengkritikan terhadap pemerintahan.
Pada bab ke-48 dengan judul ‘kritik’, dia mengakui keberadaannya dengan posisi
sebagai kritikus ulung. Dalam hal ini penulis menjelaskan perbedaan antara
kritikus dan praktisi ketika seorang kritikus mendapatkan serangan balik.
Biasanya orang akan menilai bahwa seorang kritikus hanya pintar membeo untuk
suatu permasalahan tanpa memberi solusi yang solutif. Atau bisa jadi seorang
kritikus ketika diberi hak untuk memerintah justru tidak sebaik orang yang
dikritiknya. Namun, jangan salah, bukan seorang Sujiwo Tejo “dalang edan” jika
tidak bisa berkilah. Menurutnya, hal tersebut sudah masalah logika. Dalam
kehidupan sudah terbagi dalam bidangnya masing-masing. Ada pelaku, ada pula
pengamat/ analis/ kritikus. Belum tentu seorang praktisi/ pelaku mampu
mengamati pekerjaannya sendiri maupun pekerjaan orang lain dengan baik, begitu
pula seorang kritikus belum tentu mampu melakukan pekerjaan yang dikritiknya
dengan lebih bagus. Lebih dari itu, seorang praktisi memang seharusnya
mengambil ide-ide dari kritik menjadi solusi sehingga satu sama lain saling
mengisi mengerjakan pekerjaannya masing-masing. Meminjam istilah gusdur, seakan
sujiwo ingin mengatakan gitu aja kok
repot.
Secara
garis besar, karya Republik #Jancukers mampu memberikan perenungan bagi kita
pada hal-hal kecil yang akan bermuara pada perkara besar. Dengan banyaknya wacana yang dihadirkan,
terasa sekali bahwa buku ini ditulis oleh seseorang yang berpengetahuan dan
berwacana luas. Didukung dengan latar belakang pendidikan penulis di dua jurusan
di ITB yakni jurusan matematika dan teknik sipil serta keilmuannya dalam
pewayangan, sastra dan musik menambah keragaman pembahasan di setiap esai di
dalamnya.
Namun,
bagi orang yang mengikuti secara intens pemikiran Sujiwo Tejo, buku ini memang
belum mampu menggambarkan konsep pemikirannya secara utuh. Hal ini dikarenakan
cakupan yang dibahas sangat luas dan tidak terstruktur dengan rapi, ditambah
lagi dengan pembahasan yang lebih mengikuti arus zaman. Jadi, bagi seseorang
yang tidak mengikuti permasalahan negeri ini ter-update sedikit kesulitan
memahami arah pemikiran per-babnya. Bagaimanapun, karya ini sangat enak dibaca
dan mudah dicerna bagi kalangan apapun. Tidak hanya seputar kritik pemerintah,
lebih dari itu kita akan mendapatkan wacana yang lebih banyak seputar berbagai
hal.